CERPEN: Eh, Kau yang Berkacamata

 


Eh, Kau yang Berkacamata

Arief Gin


Setiap malam adalah malam yang indah bagiku. Kebisingan teman-teman adalah alunan musik yang memberikan semangat dalam mengerjakan aktivitasku dan tentunya itu bukan belajar. Satu dua ada yang menggosip. Yang lainnya juga ada yang mencurahkan hatinya. Perihal rindu. Perihal cinta. Bahkan perihal patah hati.

Aku hanya duduk sendiri terdiam. Menatap bintang bintang berkilauan. Yah, hanya itu yang aku lakukan setiap malam setelah jam belajar. Tidak ada kerjaan. Hanya melamun. Kadang ada teman yang mengajak ngumpul di tempat santai, tapi aku bosan. Tidak ada gunanya. Hanya obrolan gosip tentang santri putra yang katanya kece bin keren. Menurutku itu sih, biasa saja. Tidak kayak mereka norak-norak.

Melihat bintang memang hal yang aku sukai. Mereka di atas sana mengajarkan kita bahwa jauh bukan berarti hilang. Jauh bukan berarti menjauh. Kadang yang jauh adalah usaha untuk selalu ingin mendekat. Sama seperti hubungan, jarak jauh bukanlah pemutus hubungan percintaan. Bahkan jauh mengajarkan sebuah arti kesabaran. Dan memberikan momentum menakjubkan saat pertemuan.

Di bangunan tertinggi ini aku lebih suka menikmati malam sendiri. Tanpa gangguan. Memberikan leluasa kepadaku memikirkan apapun yang ingin aku pikirkan. Sesekali menikmati pemandangan gedung pesantren putra yang ada di sebelah utara sana. Satu dua ada yang lewat. Katanya itu adalah kamar pengurus semuanya. Tapi entahlah, aku tidak tertarik dengan itu.

“Mbak yang lagi galau. Maaf nih, ganggu lamunannya. Tapi ini sudah malam. Waktunya tidur. Kembali ke kamar masing-masing. Atau Mbak mau saya sanksi kalu masih mau di sini.” kata salah satu keamanan pondok dengan wajah melototnya yang super jelek.

“Eh iya Ustazah, nih, juga udah selesai kok.” kataku tersenyum dipaksa karena gak mau berurusan dengan yang ini. Kalo masalah sanksi, dia terkenal kejam bin sadis.

Aku turun mengikuti Ustazah yang menyuruhku tadi. Kami berpisah di ujung tangga. Aku menuju kamarku. Dia entah ke mana. Mungkin menuju kamarnya atau masih mencari santri putri yang mesih belum tidur. Aku gak peduli.

Kamarku ada di gedung sebelah selatan dari gedung tempatku menikmati malam tadi. Jadi aku keluar terlebih dahulu untuk menuju kamarku. Lampu-lampu kamar serentak mati. Semuanya sudah terjadwal. Santri-santri sudah menyusun formasi yang tak pernah diperintahkan kepada mereka. Formasi tidur yang terlihat sempurna seperti susunan ikan pindang di pasar-pasar. Itulah kehidupan ku di pondok pesantren tercinta ini. Entahlah dengan kalian. Aku tidak peduli.

Di perjalanan mataku mulai mengantuk. Tapi aku harus menaiki tangga karena kamarku berada di lantai dua. Sesampai di kamarku, aku harus acuh tak acuh dengan suara santri putra yang sedang jaga malam. Sebab, tepat jaga malam tepat berada di belakang kamarku. Aku tidak peduli dengan pembahasan mereka. Tapi aku harus berjuang untuk merasa tuli. Dan itu selalu berhasil membuatku tertidur karena mereka kuanggap sebagai alunan musik teman tidurku. Meskipun ventilasi kamar yang besar memperjelas suara mereka.

Hmmm. Baguslah sepertinya mereka mulai bubar dan itu merupakan nikmat terbesar yang diberikan Tuhan kepadaku malam ini. Karena aku akan tidur nyenyak. Hoaammm.” kataku pelan agar mbak-mbak yang lain tidak terbangun dengan suara pelanku. Aku yakin mereka tidak akan mendengar suara pelanku, sebab suara mereka yang lebih keras dari suaraku.

Dikira sudah bubar semua tapi sepertinya masih ada satu suara yang berseru tertahan. Entah apa yang dia lakukan aku tak peduli. Sepertinya dia menghempaskan sesuatu entah buku entah apa. “Mungkin dia lagi kesal karena pikirannya lagi buntu setelah membaca buku atau tidak bisa melanjutkan tulisannya.” pikirku.

Di saat aku tidak mempedulikannya, entah kenapa aku terganggu oleh suaranya. Dan ini baru pertama kali aku memperhatikan sesuatu yang tak pernah aku pedulikan. Dan suara itu…

Masya Allah.” seruku pelan. Suara ini pertama kali aku mendengarnya.

I promise anytime you call me

It don’t matter where I am

Always be there

Like you been there

If you need me closer

All be right over

I swear…. I swear…

“Ya Allah. Sweet banget.” suaraku agak sedikit keras dan berhasil membuat salah satu mbak kamarku yang ngorok berhenti. Aku langsung menutup mulutku, takut salah satu dari mereka terbangun.

Aku masih penasaran dengan suara itu. Dia masih melanjutkan Promise-nya Harris J dan itu lagu kesukaanku. Banyak mbak-mbak yang menyanyikan lagu itu tapi suara mereka entah seperti apa. Tak semerdu malam ini. Ya Tuhan.

Semakin dia menyanyikan lagu itu semakin aku penasaran dengannya. Untuk saat ini aku hanya bisa mendengarkannya tanpa tahu siapa dia. Aku berusaha menyimaknya sambil menutup mata. Dan mungkin inilah arti musik teman tidur sesungguhnya.

Aku berusaha mencoba melihat orang yang telah mengganggu pikiranku. Membuatku tidak bisa tidur selarut ini. Mengintip. Ya mengintip adalah tekadku. Benar kata Boy Candra, perasaan seperti laut, jika sudah tak terkendali, akan menghancurkan. Ya dia telah menghancurkan akal sehatku sehingga aku senekat ini.

Aku mencari sesuatu agar bisa mencapai ventilasi yang tingginya lebih sebadan dengan tubuh kecilku. Aku mencari kursi agar tubuhku dapat mencapainya. Sudah kucari kemana-mana tapi tidak kutemui. Di gudang, di bawah tangga, semuanya tidak ada.

Benarkah yang dikatakan Tere Liye bahwa apapun yang menghalangi cinta, cinta akan menemukan jalannya sendiri. Sepertinya itu tidak berlaku. “Ya Tuhan tolong aku. Ini adalah kesempatanku. Aku tidak tahu apakah dia jaga malam lagi besok atau tidak, atau minggu depan aku tidak tahu. Ya Tuhan please… berikanlah kesempatan ini kepadaku.” Aku berdoa dengan hati kesal karena tidak menemukan kursi.

Tapi lihatlah di sana. “Ya Tuhan, terimakasih, aku sayang Kamu.” aku hampir menjerit. Ya, setelah sekian lama dan di banyak tempat aku mencari kursi, ia malah bersembunyi di balik pintu kamar sebelahku. Maklumlah hanya terlihat sedikit. Ya, kekuatan cinta memang menakjubkan.

Aku mengambilnya perlahan agar tidak ada orang yang terganggu dengan aktivitasku. Kuletakkan kursi tepat di bawah ventilasi. Aku berbicara agak keras terlebih dahulu memastikan tidak seorangpun bangun dan mengetahui aktivitas mengintipku.

Aku naik ke atas kursi dan mencoba melihat siapa di sana yang telah mengganggu tidurku.

Aku tak pernah meminta

Sosok pendamping sempurna

Cukup dia yang selalu

Sabar menemani dalam kekuranganku

Namun Tuhan menghadirkan

Sosok wanita terhebat 

Kuat tak pernah mengeluh

Bahagiaku selalu bersamamu

Andai ada keajaiban

Ingin ku ukirkan

Namamu di atas bintang bintang angkasa

Agar semua tau

Kau berarti untukku

Selama-lamanya kamu milikku

Kini telah kubuktikan

Kamu pendamping setia

Kuat tak pernah mengeluh

Bahagiaku selalu bersamamu

Woow, keren…” seruku pelan sambil tepuk tangan tanpa suara. Suara itulah yang mengganguku, sampai aku senekat ini.

Lewat kursi ini, kuperhatikan dia. Di bawah lampu yang menyinari sekitar, dia hanya sendiri. Memegang buku binder dan bolpoin. Entah apa yang dia tulis. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia selalu menundukdan fokus terhadap aktivitas menulisnya. “Dia begitu tega menyembunyikan wajah itu tanpa peduli terhadapku.” pikirku

Seakan-akan dia mendengar keluhku. Ya, dia mengangakat wajah terpendam itu setelah sekian lama menunduk.

SUBHANALLAH… wajah itu!” seruku.

Pemilik suara itu membuatku bergetar. Entah seperti apa keadaanku sekarang. Entah perasaan apa yang kurasakan saat ini.

Wajahnya membuatku ketagihan untuk selalu memandangnya. Black sweet warna kulit yang menyatu pada tubuhnya memberikan kecocokan dan menandakan bahwa dia begitu manis. Bahasa Inggris yang sesekali dia ucapkan membuatku terkesan. Dan benda yang menempel di wajahnya menandakan kerajinannya dalam belajar.

“Ya Tuhan. Santri berkacamata itu membuatku jatuh cinta!” pekikku.

Ya, dia adalah tipe cowok yang dapat meruntuhkan hatiku. Suara yang merdu, wajah yang manis, bahasa Inggris yang lancar, dan berkacamata. Seakan dialah yang pantas disebut dengan pangeran berkacamata.

Aku terlarut dalam menikmati memandangnya. Dia masih fokus dalam aktivitas menulisnya. Sesekali dia mengangkat wajahnya mencari inspirasi dari bintang-bintang. Dia selalu membuatku terkesan saat dia mengangkat wajahnya diselingi berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan lagi-lagi dia bernyanyi. Mungkin pikirannya lagi buntu. Memang pilihan terbaik saat di saat otak membutuhkan istirahat sejenak. Dan itulah momen yang dari tadi aku tunggu.

“HEY MBAK. LAGI NGAPAIN?!” teriak salah satu mbak kamarku.

Eh, anu, anu…. ADUUUHHHH!” jawabku gagap lalu terjatuh dan berhasil membuat kursi plastik yang aku gunakan patah. Semua orang terbangun.

***

            Malam yang awalnya adalah malam yang terindah bagiku, seketika menjadi malam yang begitu menyeramkan dan sulit aku jalani.

Aku dibawa ketua kamarku ke ruang pengurus pondok karena ketahuan mengintip santri putra yang sedang jaga malam. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Aku ingin tahu siapa yang akan menginterogasiku. Aku hanya bisa menunggu.

Assalamualaikum.” sapa seseorang. Seketika aku menoleh ke arah pintu dan aku mengetahui siapa yang akan menginterogasiku. “Oh Tuhan. Kenapa harus dia?!” pekikku dalam hati. Ya, dia Ustazah yang tadi malam menyuruhku turun dari gedung paling atas. Dia Ustazah yang diwanti-wanti seluruh santri agar tidak berurusan dengannya dan malam ini adalah malam terburuk bagiku. Dan hilanglah sudah tidur nyenyakku. 

NASIB NASIB.

***

“Eh, kau yang berkacamata.” panggil ku dalam hati. Setelah diinterogasi aku diberi hukuman sementara. Aku harus tidur di ruang pengurus untuk menanti hukuman tersadisku besok.

Komentar