OPINI: Kemanusiaan yang Kalah Eksis dengan Baliho Puan Maharani

 



Kemanusiaan yang Kalah Eksis dengan Baliho Puan Maharani

Nur Maslina


Akhir-akhir ini, manusia diliputi banyak berita duka. Sudah hampir mereda pandemi, lalu kini erupsi Semeru, sampai berita tidak mengenakkan lainnya yang tersebar di berbagai media. Beragam peristiwa itu jadi bukti bahwa dunia kita tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja. Pandemi sampai Semeru sudah memakan banyak korban jiwa. Rasanya belakangan, kematian bukan lagi jadi kabar mengejutkan di telinga.

Mengiringi berbagai peristiwa tersebut, ragam sikap netizen bermunculan. Dari yang benar-benar berempati, sampai yang tidak punya hati. Lihat saja dulu, saat banyak korban jiwa melayang akibat pandemi, beberapa orang yang kemanusiaannya sudah mati, masih sempat-sempatnya berulah. Dari yang memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi dengan menjual masker harga selangit, sampai menimbun tabung oksigen dan obat-obatan.

Berbagai informasi hoax juga turut bermunculan terkait penularan sampai obat ampuh virus Covid-19 yang katanya dapat seketika hilang dengan minum susu beruang. Sampai-sampai susu berkemasan putih yang tidak jelas asal-usulnya apakah berasal dari susu beruang, sapi, atau naga itu mendadak jadi barang langka yang sulit ditemui di supermarket terdekat.

Saat Semeru erupsi juga begitu. Orang tidak bertanggung jawab memanfaatkan ketakutan warga demi mendapatkan kesenangan dengan menyebarkan informasi palsu bahwa ada erupsi susulan sampai jembatan di wilayah lain yang ikutan roboh. Sampai yang paling parah, jalur lahar dijadikan tempat ber-selfie ria dan mendadak jadi lokasi bencana wisata dadakan. Belakangan, relawan dan warga dibuat makin geram dengan adanya adegan syuting sinetron di lokasi pengungsian. Sudah judulnya “Terpaksa Menikahi Tua Muda” yang jelas tidak berkorelasi dengan nilai-nilai kemanusiaan, adegan pemainnya yang berpelukan di depan warga pengungsian juga dianggap tidak patut diperlihatkan di depan anak-anak. Sangat tidak etis meraup keuntungan dan menaikkan rating dengan memanfaatkan bencana sebagai background.

Tidak cukup adegan syuting yang bikin geleng-geleng kepala. Baliho besar bergambar Puan Maharani juga disebar di sepanjang jalan lokasi pengungsian. Lagi-lagi, partai banteng hitam berlatar merah itu terkesan berkampanye dengan memanfaatkan kondisi korban yang mungkin akan bersimpati melihat foto politikus tersebar di sepanjang jalan. Padahal bisa jadi masyarakat di sana tidak kenal siapa wajah di dalam baliho itu. Lagipula tidak penting, isi kepala mereka sudah habis untuk memikirkan nasib mereka yang baru saja kehilangan harta benda juga keluarga.

Sudahlah ada bencana, wajah politisi yang lebih banyak nggak ngapa-ngapain ketimbang ngapainnya kok masih pede saja ngeksis? Duh, Mbak Puan, mau kepakkan sayap kebencanaan?

Hari ini,  kalau ada yang patut diberikan belasungkawa yang paling besar mungkin adalah kemanusiaan, sebab eksistensinya yang sudah mulai mati. Kematian seharusnya tidak lagi dimaknai sebagai hilang nyawa, melainkan juga hilang rasa. Karena apalagi yang dapat dimaknai dari hidup kalau habis kemanusiaannya?

 

 

 

Komentar