Gelap Itu Asik






Gelap Itu Asik

Nanda Febriansari


Seberapa tajam kau mampu menembus sunyinya mereka yang telah mati? Seberapa besar  tajam pekamu atas rasa mereka yang telah samar. Bersila mengadu nasib bernamakan hidup, terkadang jauh lebih menyedihkan. Tentang hidup yang katanya memiliki dua sisi, dari pemaknaan hitam dan putih. Lalu menciptakan garis waktu tentang pemantasan diri atas perkara dunia yang memuakkan. 

Bertindih pada benih luka, lantas mengutuk bulan atas sepi dan dingin yang memekik tulang serta raga, membuat beberapa orang merasa terpenjara oleh dinasti hampa dari detik perhitungan menit. Entahlah, merenung sambil memikirkan hal-hal tak berdasar bersama gelap itu memang asik. Seperti semua berfokus pada diri yang telah ringkih termakan kepalsuan diri sendiri. Menepi tak bisa, menghilang apalagi, ya… begitulah gambarannya.

Percayalah, aku ingin duduk dengan manusia yang menganggapku ada dan butuh atas diriku, bercerita dan berbagi segala hal tentang hariku yang menyesakkan, atau tentang harinya yang menyenangkan. Aku ingin membawanya menuju asa yang tak pernah orang lain dapatkan. Tapi, menjadi begitu istimewa untuk seseorang, sungguh aku tak mampu. Bagaimanapun, aku hanya ingin melihat Sakura bermekaran di sekelilingku, bukan badai yang merobohkan puing-puing kepercayaan diriku. 

Bukankah itu lucu? Aku menginginkan orang lain tapi aku merasa bahwa aku tak membutuhkannya. Adakalanya aku merasa, sendiri adalah kebahagiaan yang abadi, walau lebam disana sini, itu akan terasa manis. Ketika aku menatap diri di cermin, aku semakin banyak mengampuni diriku dan berterima kasih padanya. Entah dari hal yang paling mengecewakan sampai pada hal yang paling membagakan itupun jika ada. 

Heh, duduk di kursi taman pada malam hari seperti ini ternyata cukup melegakan, berdialog ria dengan luka-luka dan deru angin, menyempitkan pemaknaan yang mendalam atas aku yang pernah kehilangan aku. Tentang perjalanan panjang dengan batin meronta ingin mengakhiri semuanya hingga berada pada posisi senyum cerah dan bangga, ternyata aku mampu melewati hari-hari yang melelahkan itu.  Entah ditemani dengan goncangan iman, luapan amarah, atau tangisan yang menyesakkan, malam tetap menjadi candu dalam pemilihan waktu untuk menyampaikan dialog dini hari, di ruang segi empat   lengkap dengan satu jendela dan satu pintu serta lampu yang padam. Mampu memeluk jiwa yang hampir tenggelam oleh kebencian 

Komentar