OPINI: Ilusi Perkaderan

 


Ilusi Perkaderan

Ajid Sangadji

 

Ini merupakan refleksi atas proses dinamika pada suatu organisasi, di tataran komisariat, yang cenderung sama, berulang, dan stagnan. Tidak perlu kita sebutkan nama organisasinya, tapi biasa disingkat HKP, sih. Semua isi tulisan ini hanyalah asumsi pribadi, jadi jangan terlalu dibawa ke hati, terima kasih.

 

Perkaderan. Usaha organisasi yang dilaksanakan secara sadar dan sistematis selaras dengan pedoman perkaderan HMI, begitu pengertiannya dalam konstitusi. Suatu misi besar dari organisasi yang besar, katanya, agak abstrak yaa (?). Idealnya, karena pengertian yang abstrak itulah, perkaderan harus dispesifikasi lewat tupoksi berbagai bidang dengan praksis-praksis yang nyata terlihat. Aamiin.

 

Mulai dari praksis perkaderan yang formal, nonformal, bahkan sampai pada perkaderan personal. Praksis dari proses itu biasanya berupa kajian, workshop, webminar, jalan-jalan sambil diskusi santuy, dan curhat ala-ala konseling untuk memaknai masalah hidup kalian yang sangat berat itu. Asik sekali kan adik-adik(?).

 

Seringkali, banyaknya kegiatan itulah memicu konfik, pun dinamika, mulai dari alur komunikasi yang amburadul, kegiatan bertabrakan yang tak terjadwal, militansi pelaku perkaderan yang fluktuatif, kurangnya chimestry, bahkan sampai baper-baperan antar personalia. Dinamika ini seharusnya akan mengganggu proses berjalannya perkaderan, namun anehnya, situasi dan kondisi itu sering dilebelisasi menjadi proses perkaderan itu sendiri, “kader paripurna adalah kader yang lahir dari rahim dinamika konflik”, begitu kalau kata senior-senior yang terhormat. Maka tak jarang para pengurus organisasi itu membuat rekayasa konflik untuk menunjang proses perkaderan yang ideal, atau seolah-olah merekayasa(?). Hehe. Demikianlah gambaran singkat tentang perkaderan.

 

Hal yang sebenarnya mengganggu bukan pada realitas manifest itu, melainkan ada beberapa pola laten mengakar yang tak disadari. Sehingga, perkaderan berjalan dengan penuh improvisasi, beriringan dengan wacana ideal turun-temurun sejak Munir masih ngopi di warkop Sahabat. Sampai dengan tulisan ini dibuat, saya masih terus bertanya kepada kepada karang, kepada ombak, kepada matahari, dan kepada rumput-rumput yang bergoyang. Belum ada jawaban yang sangat konkret untuk meminimalisir lingkaran hantu itu. Apalagi, jawaban bebuyutan yang sering dikumandangkan adalah “semua itu terjadi karena kita kurang kerekatan emosional”, akhirnya, proyeksi sejarah perkaderan dari tahun ke tahun, fokus untuk merekatkan emosional. Makanya masalah perkaderan hampir sama tiap tahunnya, dampak dari bergerak atas ilusi imajiner yang tak berdasar, tidak professional, dan bias emosi.

 

Sejujurnya, dari mukaddimah yang begitu panjang, saya hanya ingin berpesan. Karena perkaderan adalah suatu bentuk kepercayaan kader HmI, maka gerak perkaderan harus berdasar pada realitas objektif (penelitan). Tujuan utama peneliatan adalah mengungkap realitas objektif, sekali lagi, mengungkap realitas objektif, sudah belajar NDP kan semuanya?. Hasil penelitianlah yang memiliki hak penuh untuk menginstruksi kita bergerak dengan praksis-praksis nyata, ingat praksis-praksi nyata, sekali lagi, praksis-praksis nyata, dalam proses perkaderan. Jangan biasakan diri untuk patuh, tunduk, dan menghamba pada ilusi yang tidak nyata dan irelevan. Mau mewujudkan masyarakat adil Makmur yang di Ridhai Allah SWT. Tapi pikiran dan hati kadernya tidak adil dan tidak makmur, kan repot.

 

Terakhir, tulisan ini memiliki banyak sekali kecacatan logika, bukan tulisan sih, caption, hehe. Silahkan dikritisi dan dibalas yaa adik-adik.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar