SOBAT MIRIS: Altruisme pada Anggota Organisasi

 


ALTRUISME PADA ANGGOTA ORGANISASI

Hasil Survei Wawancara Mahasiswa Fakultas Psikologi

Universitas Muhammadiyah Malang

Annisa Cantya

PENDAHULUAN

            Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Maka sudah sewajarnya jika manusia akan saling tolong-menolong dan berinteraksi dengan masyarakat dalam banyak hal. Tolong menolong adalah hal yang biasa dilakukan. Namun, beberapa orang justru menolong orang lain walaupun sebenarnya dirinya juga mengalami kesusahan. Fenomena tersebut disebut sebagai altruism.

Istilah “altruisme” (perilaku altruistik) diciptakan sosiolog Perancis, August Comte, berasal dari bahasa Perancis “le bien d‟altru‟ (kebaikan orang lain). Altruisme aslinya, “Leninisme‟: usaha atau kemampuan yang sebenarnya untuk bertindak demi kepentingan orang lain. Comte menganggap dalam diri individu ada dua motif yang berbeda yaitu egois dan altruistik. Motif mementingkan diri sendiri dalam membantu orang lain, dan mencari manfaat diri sendiri disebut Egoism. Sedangkan dalam bahasa Latin altruisme berasal dari kata alter yang berarti yang lain atau lain. Dalam bahasa Inggris altruisme disebut altruism yang berarti mementingkan kepentingan orang lain. Lebih jelasnya lagi dalam kamus ilmiah menerangkan bahwa istilah altruisme mempunyai arti yaitu suatu pandangan yang menekankan kewajiban manusia memberikan pengabdian, rasa cinta, dan tolong-menolong terhadap sesama/orang lain.

Menurut salah satu profesor psikologi dan juga penulis David G. Myers (2012) altruisme adalah sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri. Perilaku altruistik merupakan kebalikan dari perilaku egoistik, yaitu perilaku membantu orang lain tanpa mengharap keuntungan yang ditawarkan atau tidak adanya harapan yang akan didapatkan kembali (Myers, 2012). Pada pembahasan aspek-aspek dan faktor-faktor Altruisme kita akan menggunakan teori dari David G. Myers. Teori ini menjelaskan sebuah perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan org lain.  

 

PEMBAHASAN DAN HASIL

Myers (1996) menjelaskan altruisme merupakan respons yang memberikan positive feeling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, dimana adanya keinginan untuk selalu membantu orang lain. Motivasi tersebut muncul karena seseorang memiliki alasan untuk membangkitkan positive feeling sehingga mengarah pada tindakan untuk membantu orang lain (Mulyadi et al., 2016). 

Altruisme tidak dapat diukur menggunakan suatu angka, namun bisa dianalisis melalui perbuatan perbuatan yang tampak dan yang tidak tampak atau dapat dilihat oleh panca indra. Untuk mendeteksi seberapa besar tingkat altruis seseorang kita dapat mengukurnya lewat aspek-aspek atau karakteristik altruisme. 

Menurut Myers (2012) karakteristik atau aspek-aspek seseorang yang memiliki sifat altruis yaitu:

  1. Empati Perilaku altruistis akan terjadi dengan adanya empati dalam diri seseorang. Seseorang yang paling altruis akan merasakan bahwa dirinya merasa paling bertanggung jawab, bersifat sosial yang tinggi, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik.
  2. Belief On A Just World (Meyakini Keadilan Dunia) Seorang yang altruis yakin akan adanya keadilan di dunia (just world), Orang yang keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi dengan mudah menunjukkan suatu perilaku menolong.
  3. Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial) Setiap orang bertanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan untuk orang lain. 
  4. Kontrol Diri Secara Internal Hal-hal yang dilakukan dimotivasi oleh kontrol dari dalam dirinya.
  5. Egosentrisme yang Rendah Seseorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Umumnya lebih mementingkan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri.

 

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi altruistik menurut Myers (2012) adalah

  1. Faktor yang mempertimbangkan pengaruh – pengaruh internal terhadap keputusan untuk menolong, hal ini juga termasuk menggambarkan situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang.
  2. Faktor eksternal seperti jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan atribusi.
  3. Faktor personal yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini mencakup sifat – sifat kepribadian, gender dan religiusitas subyek (kepercayaan religius).
  4. Faktor yang mempengaruhi altruisme mencakup faktor situasional seperti situasi dan tekanan waktu pada saat terjadi peristiwa, faktor interpersonal yang mencakup kesamaan, seperti kesamaan etnis, ras, dan asal daerah (Myers, 2012).  

Profesional altruistik memiliki dampak yang sangat positif pada anggota organisasi karena para anggota organisasi akan memberikan kontribusi sifat reflektif pada rekannya. Profesional altruistik bisa menjadi salah satu hal dalam proses mendukungnya berbagi pengetahuan pada suatu organisasi. bahwa anggota organisasi yang memiliki kualitas pengembangan diri yang tinggi akan bekerja untuk organisasi dalam langkah mencapai tujuan organisasi. Keterampilan tersebut hanya dapat ditampilkan oleh individu yang peduli terhadap individu yang lain/sesama demi kebahagiaan orang lain (altruis) dan berusaha menampilkan yang terbaik jauh melebihi yang dipersyaratkan dalam pekerjaannya.

Sifat altruisme memiliki beberapa aspek diantaranya adalah empati, belief on just world, social responsibility, kontrol diri secara internal, dan egosentrisme yang rendah. Sifat ini sangat mungkin terjadi pada beberapa individu, begitu pula pada anggota organisasi. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sifat altruisme yang ada pada anggota organisasi.

Berdasarkan kelima aspek pada altruisme, peneliti menemukan beberapa jawaban responden mengenai ini. Di antaranya adalah:

  1. Empati

Pada aspek ini, peneliti memberikan 3 pertanyaan mengenai alasan seseorang menolong orang lain, perasaan mereka ketika menolong orang lain, serta kesediaan mereka ketika menolong orang yang kesusahan. Berdasarkan pertanyaan tersebut didapatkan jawaban bahwa 96,4% dari jumlah responden merasa senang menolong orang lain ,94,6% dari jumlah responden menolong orang lain karena tidak ingin orang tersebut kesusahan, serta 60,7% membantu karena dapat merasakan apa yang mereka rasakan. Hal ini menunjukkan bahwa  sebagian besar anggota organisasi memiliki sifat empati.

  1. Belief on just world

Pada aspek ini peneliti memberikan pertanyaan mengenai keyakinan responden mengenai istilah “kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula”. Sebanyak 83,9% dari jumlah responden percaya jika mereka berbuat baik mereka akan mendapat balasan yang baik juga sedangkan 10,1% dari jumlah responden lainnya tidak percaya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota organisasi memiliki belief on just world.

  1.  Social responsibility

Pada aspek ini peneliti memberikan 3 pertanyaan mengenai kepercayaan responden akan terciptanya lingkungan sosial yang baik dengan tolong-menolong, sikap tolong-menolong dilakukan oleh orang yang memiliki kepedulian tinggi, dan tentang rasa tanggung jawab yang mereka miliki untuk menolong orang yang sedang kesusahan di sekitar  mereka. Sebanyak 94,6% dari jumlah percaya bahwa dengan saling menolong akan menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik, 78,5% dari jumlah responden juga percaya bahwa orang yang saling menolong memiliki kepedulian yang tinggi, serta 62,5% merasa memiliki tanggung jawab untuk menolong orang yang ada di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki tanggung jawab sosial.

  1. Kontrol Diri secara Internal

Pada aspek ini peneliti memberikan 1 pertanyaan mengenai pertimbangan subjek sebelum membantu orang lain. Ditemukan bahwa sebanyak 66% dari jumlah responden mempertimbangkan kemampuannya sebelum memberikan pertolongan dan 34% dari jumlah responden tidak mempertimbangkannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota organisasi memiliki kontrol diri secara internal.

  1. Egosentris yang Rendah

Pada aspek ini peneliti memberikan sebuah pertanyaan mengenai sikap responden ketika diberikan pilihan antara menolong temannya untuk menjelaskan tugas dan meninggalkan tugas yang sedang dikerjakan atau menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu baru kemudian  menolong temannya. Ditemukan bahwa sebanyak 14,3% dari jumlah responden memilih menolongnya dan meninggalkan tugasnya, 53,6%  memilih untuk menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu baru menolongnya karena deadline  sudah  mepet dan 32,1% orang memilih melakukan keduanya bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa 53,6% dari jumlah responden masih memiliki ego yang tinggi dikarenakan tuntutan deadline yang mepet. 

 

PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar reponden memiliki empati yang tinggi, sebagian anggota juga memiliki belief on just world, sebagian besar subjek memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi, sebagian besar responden memiliki kontrol diri secara internal, dan sebagian bessar reponden memiliki ego yang tinggi dikarenakan tututan deadline yang mepet. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap alturisme yang tinggi pada anggota organisasi. Mereka memiliki sikap yang ingin selalu membantu orang lain bagaimana pun keadaanya. Namun sebagian besar responden masih memiliki ego yang tinggi.

Saran

       Karena masih tingginya rasa egois dalam diri sebagian responden, diharapkan untuk organisasi dapat membantu mengola perasaan egois dalam diri aggotanya menjadi rasa saling peduli antar anggotanya.

       Saran untuk pembaca agar tetap mempertimbangkan kemampuan dirinya sebelum menolong orang lain, karena niat yang ingin menolong jangan sampai jadi yang ditolong.

       Dalam penelitian selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak responden dari berbagai organisasi mahasiswa yang ada.

       Lebih memperkuat teori dengan memperbanyak teori yang dikaji.

       Dalam organisasi diharapkan untuk terus mengajarkan sikap tolong menolong dan rasa sepenanggungan antar anggotanya.

 

REFERENSI

Baron, R. A. & Branscombe, N. R. (2012). Social Psychology thirteenth edition. Pearson.

Hidayati, F. (2016). KONSEP ALTRUISME DALAM PERSPEKTIF AJARAN AGAMA ISLAM (ITSAR), 13(1). https://doi.org/10.18860/psi.v13i1.6410

Mulyadi, S., Rahardjo, W., Asmarany, A. I., & Pranandari, K. (2016). Psikologi Sosial. Gunadarma.

Pujiarti, E. S. (2015, Januari). PROFESIONAL ALTRUISTIK DAN KUALITAS PENGEMBANGAN DIRI UNTUK MENINGKATKAN BUDAYA BERBAGI PENGETAHUAN PERGURUAN TINGGI SWASTA. Media Ekonomi dan Manajemen, 30(1), 15-29.

Roudlotun Ni'mah. (2017, Januari). HUBUNGAN EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK. Jurnal Keislaman, 6(1), 100-1015.

Savitri, A. D., & Purwaningtyastuti. (2021, Mei). PERILAKU ALTRUISME PADA RELAWAN KONSELOR REMAJA. Personifikasi, 11(1), 101-108.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D Cetakan Ke 23. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2013).  Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

 

 

 

 

 

 

Komentar